Belajar Menebarkan Energi Positif



Tubuh lumpuh bukan alasan bagi Pepenk, 57 thn (nama aslinya Ferrasta Soebardi), untuk berhenti berkarya.Dari atas tempat tidur di rumahnya di Cinere dibuatlah program acara talk-show "Ketemu Pepenk", sebuah program yang dinilai bisa menyebarkan energi positif bagi pemirsa televisi.Menurut Pepenk, butuh nyali untuk bisa menerima keadaan, tidak menangis, tidak mengeluh yang justru akan menghancurkan hidup."Kita jangan sampai jadi korban dari sebuah keadaan, tapi harus bertahan.Kita harus bisa kontrol kehidupan kita sendiri." katanya.

Terpicu atau Terprovokasi?

Keadaan sebaliknya justru hampir selalu dapat dilihat pada acara-acara televisi yang kita tonon setiap hari. Penonton sepak bola ricuh dan rusuh karena terpicu wasit yang berat sebelah. Konser musik rusuh karena terpicu panitia yang tidak mengizinkan penonton yang kehabisan tiket untuk masuk. Tawuran antar kampung terjadi karena dipicu saling ejek dan kata-kata makian kasar lainnya. Massa merobohkan bangunan karena terpicu bangunan tersebut illegal tidak memiliki IMB. Massa mengamuk dan merusak fasilitas umum karena terpicu putusan hakim yang dinilai tidak adil.Sekelompok orang menyerang kelompok lain dengan pentungan dan parang karena terpicu kedatangan orang luar yang mau membela kelompoknya.
Tontonan televisi seperti itu seolah-olah mengajarkan pada kita bahwa bila ada faktor pemicu, apa saja boleh dilakukan, karena selama ini bila ada kerusuhan atau kericuhan yang dicari dan dijadikan tersangka oleh polisi adalah provokatornya.

Begitu sulitkah untuk dapat mengontrol diri dan mengontrol hidup kita sendiri?Mengapa begitu mudahnya kita diprovokasi atau dimanipulasi olah orang lain atau keadaan?Mengapa kita menjadi begitu rapuh, mudah digerakkan seakan tidak memiliki pendirian?

Gampang Menyalahkan Keadaan

Pada sebuah seminar saya di salah satu bank BUMN, peserta bertubi-tubi mengajukan pertanyaan yang intinya menyalahkan kultur perusahaan yang kurang kondusif untuk mereka bisa berprestasi. Jadi mereka masing-masing memutuskan untuk mengikuti arus dan larut dalam kultur itu. Mereka telah terpicu untuk hanya bekerja apa adanya. Buat apa berprestasi, karena prestasi tiga kali lipat saja reward-nya tetap sama dengan yang berprestasi biasa saja. Nah, bukankah yang memutuskan untuk ikut arus itu mereka sendiri?Mengapa menyalahkan keadaan?Kan tidak ada pihak yang memaksa?

Mungkin ini hanya ada di negara kita. Begitu mudahnya kita menyalahkan keadaan atau orang lain, dan kurang introspeksi juga pengendalian diri.Di sinilah kita masih harus belajar. Bila keadaan atau orang lain yang dipersalahkan, motivasi untuk memperbaiki diri jadi hilang bahkan terjadi pembenaran atas tindakan diri sendiri yang salah itu, kemudian terbentuklah comfort zone atau zona nyaman, akibatnya kemudian stagnan.Tidak akan terjadi perbaikan apa-apa.Jadi apa yang bisa kita lakukan?

Jadilah Orang Pertama!


Selalu ada harapan untuk menjadi yang pertama. Bila mereka tidak bisa, mengapa bukan Anda? Jadilah orang pertama yang bisa mematahkan mitos itu. Benny Subianto, berhasil menjadi Presdir dan Wakil Presdir di beberapa anak perusahaan Astra, mengawali karir sebagai salesman di United Tractor. Houtman Zainal Arifin, berhasil menjadi Vice President Citibank, mengawali karir sebagai OB (office boy). Megawati Soekarnoputri, berhasil menjadi presiden wanita pertama. Inul Daratista, pernah menjadi sangat populer bukan karena suaranya tapi karena goyang ngebor-nya. Shinta dan Jojo sepasang wanita pertama yang berhasil menembus YouTube dengan hampir 7 juta hits, bukan karena suaranya, tapi hanya karena lip-synch.Demikian juga dengan Pepenk yang bisa menjadi presenter pertama yang melakukan tugasnya dari atas tempat tidurnya, dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Belajarlah untuk mengendalikanlah kehidupan kita sendiri. Belajarlah menyebarkan energi positif. Jangan menyalahkan keadaan karena tidak akan membuat hidup jadi lebih baik, bahkan menjadikan lebih stres dan frustrasi. Apakah yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki keadaan?Tidak ada. Ya, tidak ada dan tidak akan bisa. Jangan bermimpi untuk memperbaiki keadaan.

Perbaikilah diri kita sendiri, jadilah yang pertama dan jadilah berbeda!
Yang bisa kita lakukan adalah beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan, tapi tetap dengan prinsip dan pendirian sendiri.Jangan sampai larut. Jangan sampai terpicu atau ter-provokasi oleh keadaan.Laut itu asin, tapi ikan yang hidup dan berenang di dalamnya tidak terasa asin.Bila ikan jadi asin, matilah dia, itu namanya ikan asin yang enak dijadikan lauk.

Semoga sukses luarr biazza menyertai Anda.Selamat berjuang memperbaiki diri.


Penulis Drs. Mukti Wibawa, MBA 


Berbagi Ilmu


Ada kisah cerita inspirasi mengenai "Ilmu Bertani". Saya bukan menceritakan bagaimana cara bertani agar bisa mendapat hasil yang banyak, melainkan menggambarkan bagaimana kita berbagi ilmu dari ilustrasi dua orang yang jago bertani, yang satu tanpa pamrih mau berbagi keahliannya, yang lainnya tak mau berbagi karena merasa ilmu itu terlalu mahal untuk dibagikan.

Perbedaan ini berpengaruh pada hari tua mereka. Petani yang tak mau berbagi ilmu, harus bertani sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bahkan di saat hari tua menjemputnya. Sedangkan petani yang murah hati, tanpa bertani pun ia bisa mendapatkan sayuran, buah-buahan yang berlimpah sebagai "hadiah" dari para murid-muridnya yang berhutang budi padanya.

Dalam keseharian kita akan dengan mudah menemukan dua tipe orang seperti itu. Keduanya merupakan bagian dari karakter manusia yang sangat umum.

Ilmu bisa didapat dari mana saja, dariguru, orangtua, buku, majalah, para ahli, dan alam sekitar.Sekarang, di mana zaman makin modern, ada sumber lain tempat berburu ilmu, yaitu internet. Fasilitas ini ibarat perpustakaan yang tak ada batasnya. Karena makin beragamnya sumber ilmu, tak ada alasan lagi untuk tidak belajar. Kita bisa menemukan segala ilmu dari sana dan mempelajarinya secara otodidak sampai menjadi ahli.

Jika kita sudah cukup ahli, maukah berbagi ilmu dengan sesama?

Harta ilmu berbeda dengan harta benda. Jika kita berbagi harta benda, jumlah kekayaan kita akan berkurang sesuai dengan jumlah harta yang kita berikan. Harta ilmu tidak demikian. Ilmu yang kita berikan pada orang lain tak membuat ilmu kita berkurang. Ilmu yang kita bagikan ibarat nyala api dalam lilin. Walaupun memberikan api kepada lilin-lilin yang lain, lilin itu tidak berkurang sinarnya.

Maka, berbahagialah mereka yang mau berbagi ilmu tanpa mengharapkan balasan karena sesungguhnya hukum alam selalu memberi imbalan atas setiap perbuatan tanpa perlu kita memintanya. Maka pada saat kita mempunyai kesempatan untuk memberi, berilah! Karena dari sisi lain kita pasti akan mendapatkan sesuatu bahkan di luar dugaan kita.


Motivator


Berbicara tentang motivator karena di Indonesia banyak muncul pribadi yang disebut motivator. orang-orang yang sering datang ke acara-acara yang dibawakan motivator seringkali adalah orang-orang yang sudah mapan. seberapa berhasil sang motivator mampu mengubah orang-orang tersebut menjadi orang-orang yang lebih baik ?
meningkatnya banyak bisnis motivator (yang berarti meningkatnya konsumen mereka) tidak sejalan dengan makin banyaknya pejabat swasta dan pemerintah melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat luas. Padahal, pejabat swasta level menengah ataslah yang sering menjadi audiens langsung dari para motivator.
sebenarnya ladang Proof of Concept yang paling tepat untuk motivator adalah anak-anak jalanan, masyarakat didaerah kumuh, masyarakat didaerah tertinggal, dan masyarakat didaerah konflik. kalu motivator bisa mengubah masyarakat di daerah-daerah tersebut menjadi lebih baik, barulah kita latyak mengangkat topi tinggi-tinggi kepada mereka dan membayar dengan harga tinggi.
saya berharap kepada motivator Indonesia mau turun kelapangan untuk memotivasi masyarakat yang susah agar bisa bangkit perekonomian mereka dan tidak mengharapkan imbalan jasa tapi carilah pahala buat amal di akhirat nanti.